Sebuah pertanyaan yang patut diajukan dalam pencaritahuan peristiwa kehidupan manusia sebagai sebuah realita duniawi adalah: bagaimanakah komunikasi yang dibangun oleh ens individuale serentak sociale dalam pluralistik peristiwanya. Individuale dan sociale adalah dua (2) unsur yang dimiliki oleh setiap pribadi; dimana individuale dipandang sebagai satu orang saja dengan segala peristiwa yang berkaitan dengan keakuannya, sedangkan keadaan keluar dari keakuannya dan bergabung dengan peristiwa orang lain itulah yang disebut sociale. Kedua unsur ini diwarnai oleh beragam peristiwa dan tidak menutup kemungkinan karenanya tiap tiap pribadi bertemu. Pertemuan antar individu dengan peristiwa keakuan yang berlainan akan melahirkan peristiwa baru dalam sebuah paguyuban dan darinya lahir corak bhineka dalam tatanan komunal yang meliputi suku,agama,ras dan budaya.
Dari situ teranglah apabila keakuan manusia yang bersifat otoristik mengalami kepenuhan makna dalam dan melalui keakuan orang lain. Suku dan ras menjadi titik mula pengakuan terhadap suatu budaya dalam satu pranata serentak menjadi titik pembeda bagi kehadiran suatu sistem dalam paguyuban yang lain. Penerimaan dan pengakuan akan budaya dalam satu dan suatu pranata sebagai produk suku dan ras merupakan bentuk afirmasi diri yang mana struktur naratifnya terjadi dalam, melalyi dan bersama keakuan orang lain serta melihat peristiwa hari ini sebagai kelanjutan dari apa yang dahulu sudah ada. Berkenaan dengan itu, kehadiran yang jauh sesudah kelahiran produk suku dan ras; menjadi unsur pengikut sekaligus pengikat bagi pelaku produk di atas
Pengikut; ketika keberadaannya tampak jelas sesudah peristiwa suku dan ras (atri kronologi), pengikat; sejauh ia memberi sumbangan terhadap aktualisasi nilai yang relevan dengan peristiwa kekinian tanpa menolak apa yang dahulu di akui dan diterima: namun tak jarang hal itu juga dikoreksi dan ditolak. Perihal kebhinekaan dalam tatanan universum, bertolak dari alam pemikiran mengenai masyarakat yang dikenal melalui pengalaman, dimana ia dihadapkan pada persoalan-persoalan; dan karenanya ia berikhtiar memberijan jawaban atas polemik yang ada. Dengan demikian masyarakat dan segala peristiwanya menjadi buah pikiran. Pemikiran itu berpangkal pada sistem sosial yang dilatar belakangi oleh budaya tertentu termasuk pola religiositas masyarakat.
Menjadi tampak jelas hakekat manusia sebagai peribadi bukan saja terikat pada otoritas keakuannya melainkan senantiasa membentuk kelompok sosial yang menghantarnya oada suatu peradaban yang tinggi. Dari situ terlihat interaksi manusia dalam peristiwanya pada apa yang disebut masyarakat plural. Ciri pluralistik melukiskan kebhinekaan yang dimiliki dan tidak lain dari keberagaman suku,ras agama dan budaya. Wacana mengenai masyarakat dengan aneka cirinya memiliki hubungan erat dengan sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan; akan tetapi pendalamannya sangat umum: mengingat masyarakat berada dalam lapangan ruang dan waktu; sehingga keempat hal di atas secara umum dapat dikatakan bahwa: mereka berada dalam lingkaran budaya; namun bila dihubungkan dengan universalitas, maka kemajemukan itu memberi bukti perbedaan bagi setiap tatanan kolektif.
Setiap bangsa memiliki sifat yang berbeda dengan bangsa lain, demikian juga masyarakat di dalamnya. Namun yang menjadi keutamaan adalah mengenai apa yang benar dan yang baik. Ajaran tentang kebenaran dan kebaikan dipandang sebagai keutamaan; dimana ia adalah sesuatu yang tidak salah dan juga bukab pula yang buruk, sehingga diakui pula sebagai norma dari generasi ke generasi dan menjadi patokan tindakan pemeluknya; baik generasi peearis maupun yang menerima warisan. Tinjauan lebih lanjut terhadap obyek yang diwariskan itu adalah bagaimana ia digunakan dalam petualangan hidup agar mencapai peradaban yang tinggi. Karenanya sudut pandang episteme tentang obyek yang terwaris tadi belumlah cukup tanpa terlebih dahulu nilai itu diterima, dikenal dan dicintai. Kendati demikian sumbangsi episteme terhadap afirmasi nilai- nilai bersifat filtrasi kritis sehingga memberi ruang kepada subyek masyarakat tidak begitu saja menerima produk masa lampau tetapi membuat penyesuaian dengan situasi kekiniannya.
Bila ini dihubungkan dengan peradaban yang tinggi, maka interaksi subyek masyarakat melampaui kepentingan personale dan mengarahkan diri pada volonte generale. Mengingat hakekat manusia bukan hanya terbatas pada keseorangan dirinya melainkan keluar dari situ untuk membangun relasi dengan diri yang lain, maka penegasan volonte generaleterarah pada bonum communae. Dengan bermuara pada prinsip ini, maka kebhinekaan bukanlah alasan dalam mencari dan menemukan titik lemah serta melanggengkan konflik sosial, tetapi terutama dijadikan sarana pemersatu; yang peduli pada kebenaran dan aneka pendapat dalam kemajemukan situasinya. Mempedulikan kebenaran berarti mengakui bahwa ada hal ikhwal tentang manusia yang mengada dalam dunia dan tidak dapat dihancurkan oleh penindasan dan ketidak adilan.
Keempat produk subyek masyarakat yang telah disebut di atas secara kontekstual dipertentangkan satu sama lain. Tendensi kontrasnya terlihat pada ikhtiar penguasaab terhadap komunitas lain yang memiliki ketidaksamaan tata konsep dan pelaksanaan budaya. Filsafat Rum-Helenia yang tercatat pada naskah epicurus dan stoa melihat masyarakat sebagai pokok pertukaran pikiran dimana itu terjadi dari pertimbangan pertimbangan kepentingan perseorangan dan didasarkan atas kepentingan individu. Mereka memberi dasar individualistis tentang masyarakat. Kendati demikian aspek penting tentang terbentuknya itu adalah kesadaran untuk membangun dialog dengan setiap pelaku budaya. Juga hal yanh sama ditandaskan oleh kaum Stoa mengenai kodrat manusia sebagai makhluk masyarakat.
Francis Bacon dari Verulam (1561-1628), seorang ahli negara dengan pemikiran tajam dan kehidupan yang gelisah; melihat hubungan dalam segala peristiwa dalam tatanan universum sebagai perhubungan sebab akibat yang mekanik. Keterangannya didasari atas pengamatan akan peristiwa. Pengetahuan adalah kekuasaan; dengannya manusia dapat menguasai alam. Akar pemikiran ini mengangkat sebuah pengertian ada relasi antar individu dalam suatu paguyuban maupun dengan kosmos. Namun sistem kausalitas ini mengarah pada kekuasaan yang tanpa batas. Tak bedanya dengan perang semua melawan semua.
Berbeda dengan Thomas Hobbes (1588-1679), yang tidak melihat pengetahuan dan tindakan manusia sebagai pernyataan bebas untuk menguasai; tetapi unsur umum yang menggerakan kemauan ini adalah hasrat mempertahankan diri dan memperbaiki kehidupan pembagian pernyataan itu digolongkan dalam hasrat akan kebaikan dan bukan kebaikan. Perwujudannya terjadi dalam kewajaran egois. Ia adalah sistim logis yang disusun atas dasar-dasar egois serta dapat mengekang egoisme itu dan terarah bagi kepentingan umum. Pengertian egois di sini mengacu pada kepentingan umum.
Jhon Locke (2632-1704), memberi penekanan mengenai lahirnya masyarakat dari pengalaman empiris yang menjadi tolok ukur sebuah norma. Pengalaman lahiriah subyek adalah modus terbentuknya suatu masyarakat yang olehnya diterima sebagai pengalaman moral, darinya ada keselarasan alam batin dan pengalaman realita manusia. Kendati begitu masyarakat bukanlah pengalaman batin tetapi sebuah kenyataan lahir dari tiap-tiap peristiwa hidup.
David Hume (1722-1776), muncul di penghujung zaman Aufklarung melihat masyarakat bukan terbatas pada kenyataan lahir melainkan pengalaman batin bersama anggota di dalamnya. Penghargaan terhadap tindakan-tindakan menurut ukuran kesusilaan merupakan dasar ajaran moral dan kontradiksi dari aksi pengrusakan yang mendatangkan kerugian.
Untuk itu pergaulan hidup lahir dari suara bati yang membentuk peristiwa moral. Ia adalah kenyataan psikis. Manusia perseorangan hanya dapat menjadi manusia dalam dan melalui masyarakat, demikianlah hal serupa dicetuskan oleh Scot Adam Ferguson (1724-1816); di samping digerakan oleh perasaan bermasyarakat; dia juga digerakan oleh pertentangan-pertentangan dengan orang lain yang harus diselesaikan dengan perjuangan: ini memang harus ada. Gagasan yang sulit ditolak tentang terbentuknya struktur naratif masyarakat adalah berada dalam kebhinekaan, sehingga untuk tetap eksis ia mesti bertahan dengan ketegangan-ketegangan, antara lain keempat produk masyarakat yang sudah disinggung sebelumnya. Ukuran pengakuan terhadap komunitas lain berasal dari pengakuan atau celaan yang dipakai manusia untuk membandingkan tindakan subyek komunitas tersebut didasarkan pada perasaan simpatinya. Dengan demikian tata pergaulan hidup lahir dari berbagai kepentingan antara lain kepentingan-kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Terhadap peristiwa ini muncul dua (2) sistem tata tertib yang mengatur pola perilaku subyek masyarakat agar tidak terjebak dalam pertikaian. Keduanya adalah tata tertib lahir dan tata tertib batin. Perihal pertama berurusan dengan sikap-sikap manusia yang menggotonh nilai kebaikan; dan tata tertib kedua mengandung pertimbangan-pertimbangan moral dari suara hati.
Dengan bermuara pada uraian di atas, maka eksistensi manusia sebagai ens individuale dan ens sosiale menjadi faktor pembentuj masyarakat dalan segala peristiwanya. Keberagaman yang ditampilkan oleh tiap-tiap subyek masyarakat pada satu sisi memperlihatkan kreativitas dan di sisi lain menampilkan perbedaan yang karenanya setiap manusia berjuang untuk berdialog. Menoleh kepada telaah sosiologis maka ia dibagi ke dalam dua kelompok yang bukan terpisah namun satu kesatuan yang utuh. Penerimaan akan yang bukan terpisah namun satu, melahirkan masyarakat berbudaya dan beragama.
Bertolak dari situ; mari kita melihat kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia. Sejak zaman kerajaan Hindu-Budha, masuknya pengaruh Islam, serta penyebaran agama Kristiani, orang Indonesia sudah menanamkan sistem gotong royong dan kerja sama baim antar subyek masyarakat maupun dengan subyek masyarakat asing. Pada saat yang bersamaan pula terjadi pertukaran budaya. Itu terlihat pada masuknya agama-agama asing yang oleh warga disambut dengan penuh antusias. Jembatan dari semua itu adalah KOMUNIKASI. Ia mengandung unsur kejujuran, kebenaran, obyektifitas dan komprehensbilitas.
Dalam perkembangannya dan hingga saat ini, masalah yang rentan terjadi di Ibu Pertiwi ini adalah konflik SARA (suku, agama dan ras). Jika mau jujur: maka hanya satu pemicunya yaiti: ketiadarelaan subyek masyarakat menerima dan mengakui pluralistik. Satu-satunya cara dalam meminimalisir dan meniadakan hal ini adalah konstruksi komunikasi dua arah, di mana setiap partner berdialog, bersikap peka agar dapat menerima, merasakan dan menangkap makna tersembunyi dan terdalam dari apa yang perlu diangkat dalam pengungkapan verbal itu. Dengan demikian setiap subyek masyarakat dituntut untuk berdialog yang dasarnya ada pada penghargaan akan perbedaan.
Dari situ teranglah apabila keakuan manusia yang bersifat otoristik mengalami kepenuhan makna dalam dan melalui keakuan orang lain. Suku dan ras menjadi titik mula pengakuan terhadap suatu budaya dalam satu pranata serentak menjadi titik pembeda bagi kehadiran suatu sistem dalam paguyuban yang lain. Penerimaan dan pengakuan akan budaya dalam satu dan suatu pranata sebagai produk suku dan ras merupakan bentuk afirmasi diri yang mana struktur naratifnya terjadi dalam, melalyi dan bersama keakuan orang lain serta melihat peristiwa hari ini sebagai kelanjutan dari apa yang dahulu sudah ada. Berkenaan dengan itu, kehadiran yang jauh sesudah kelahiran produk suku dan ras; menjadi unsur pengikut sekaligus pengikat bagi pelaku produk di atas
Pengikut; ketika keberadaannya tampak jelas sesudah peristiwa suku dan ras (atri kronologi), pengikat; sejauh ia memberi sumbangan terhadap aktualisasi nilai yang relevan dengan peristiwa kekinian tanpa menolak apa yang dahulu di akui dan diterima: namun tak jarang hal itu juga dikoreksi dan ditolak. Perihal kebhinekaan dalam tatanan universum, bertolak dari alam pemikiran mengenai masyarakat yang dikenal melalui pengalaman, dimana ia dihadapkan pada persoalan-persoalan; dan karenanya ia berikhtiar memberijan jawaban atas polemik yang ada. Dengan demikian masyarakat dan segala peristiwanya menjadi buah pikiran. Pemikiran itu berpangkal pada sistem sosial yang dilatar belakangi oleh budaya tertentu termasuk pola religiositas masyarakat.
Menjadi tampak jelas hakekat manusia sebagai peribadi bukan saja terikat pada otoritas keakuannya melainkan senantiasa membentuk kelompok sosial yang menghantarnya oada suatu peradaban yang tinggi. Dari situ terlihat interaksi manusia dalam peristiwanya pada apa yang disebut masyarakat plural. Ciri pluralistik melukiskan kebhinekaan yang dimiliki dan tidak lain dari keberagaman suku,ras agama dan budaya. Wacana mengenai masyarakat dengan aneka cirinya memiliki hubungan erat dengan sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan; akan tetapi pendalamannya sangat umum: mengingat masyarakat berada dalam lapangan ruang dan waktu; sehingga keempat hal di atas secara umum dapat dikatakan bahwa: mereka berada dalam lingkaran budaya; namun bila dihubungkan dengan universalitas, maka kemajemukan itu memberi bukti perbedaan bagi setiap tatanan kolektif.
Setiap bangsa memiliki sifat yang berbeda dengan bangsa lain, demikian juga masyarakat di dalamnya. Namun yang menjadi keutamaan adalah mengenai apa yang benar dan yang baik. Ajaran tentang kebenaran dan kebaikan dipandang sebagai keutamaan; dimana ia adalah sesuatu yang tidak salah dan juga bukab pula yang buruk, sehingga diakui pula sebagai norma dari generasi ke generasi dan menjadi patokan tindakan pemeluknya; baik generasi peearis maupun yang menerima warisan. Tinjauan lebih lanjut terhadap obyek yang diwariskan itu adalah bagaimana ia digunakan dalam petualangan hidup agar mencapai peradaban yang tinggi. Karenanya sudut pandang episteme tentang obyek yang terwaris tadi belumlah cukup tanpa terlebih dahulu nilai itu diterima, dikenal dan dicintai. Kendati demikian sumbangsi episteme terhadap afirmasi nilai- nilai bersifat filtrasi kritis sehingga memberi ruang kepada subyek masyarakat tidak begitu saja menerima produk masa lampau tetapi membuat penyesuaian dengan situasi kekiniannya.
Bila ini dihubungkan dengan peradaban yang tinggi, maka interaksi subyek masyarakat melampaui kepentingan personale dan mengarahkan diri pada volonte generale. Mengingat hakekat manusia bukan hanya terbatas pada keseorangan dirinya melainkan keluar dari situ untuk membangun relasi dengan diri yang lain, maka penegasan volonte generaleterarah pada bonum communae. Dengan bermuara pada prinsip ini, maka kebhinekaan bukanlah alasan dalam mencari dan menemukan titik lemah serta melanggengkan konflik sosial, tetapi terutama dijadikan sarana pemersatu; yang peduli pada kebenaran dan aneka pendapat dalam kemajemukan situasinya. Mempedulikan kebenaran berarti mengakui bahwa ada hal ikhwal tentang manusia yang mengada dalam dunia dan tidak dapat dihancurkan oleh penindasan dan ketidak adilan.
Keempat produk subyek masyarakat yang telah disebut di atas secara kontekstual dipertentangkan satu sama lain. Tendensi kontrasnya terlihat pada ikhtiar penguasaab terhadap komunitas lain yang memiliki ketidaksamaan tata konsep dan pelaksanaan budaya. Filsafat Rum-Helenia yang tercatat pada naskah epicurus dan stoa melihat masyarakat sebagai pokok pertukaran pikiran dimana itu terjadi dari pertimbangan pertimbangan kepentingan perseorangan dan didasarkan atas kepentingan individu. Mereka memberi dasar individualistis tentang masyarakat. Kendati demikian aspek penting tentang terbentuknya itu adalah kesadaran untuk membangun dialog dengan setiap pelaku budaya. Juga hal yanh sama ditandaskan oleh kaum Stoa mengenai kodrat manusia sebagai makhluk masyarakat.
Francis Bacon dari Verulam (1561-1628), seorang ahli negara dengan pemikiran tajam dan kehidupan yang gelisah; melihat hubungan dalam segala peristiwa dalam tatanan universum sebagai perhubungan sebab akibat yang mekanik. Keterangannya didasari atas pengamatan akan peristiwa. Pengetahuan adalah kekuasaan; dengannya manusia dapat menguasai alam. Akar pemikiran ini mengangkat sebuah pengertian ada relasi antar individu dalam suatu paguyuban maupun dengan kosmos. Namun sistem kausalitas ini mengarah pada kekuasaan yang tanpa batas. Tak bedanya dengan perang semua melawan semua.
Berbeda dengan Thomas Hobbes (1588-1679), yang tidak melihat pengetahuan dan tindakan manusia sebagai pernyataan bebas untuk menguasai; tetapi unsur umum yang menggerakan kemauan ini adalah hasrat mempertahankan diri dan memperbaiki kehidupan pembagian pernyataan itu digolongkan dalam hasrat akan kebaikan dan bukan kebaikan. Perwujudannya terjadi dalam kewajaran egois. Ia adalah sistim logis yang disusun atas dasar-dasar egois serta dapat mengekang egoisme itu dan terarah bagi kepentingan umum. Pengertian egois di sini mengacu pada kepentingan umum.
Jhon Locke (2632-1704), memberi penekanan mengenai lahirnya masyarakat dari pengalaman empiris yang menjadi tolok ukur sebuah norma. Pengalaman lahiriah subyek adalah modus terbentuknya suatu masyarakat yang olehnya diterima sebagai pengalaman moral, darinya ada keselarasan alam batin dan pengalaman realita manusia. Kendati begitu masyarakat bukanlah pengalaman batin tetapi sebuah kenyataan lahir dari tiap-tiap peristiwa hidup.
David Hume (1722-1776), muncul di penghujung zaman Aufklarung melihat masyarakat bukan terbatas pada kenyataan lahir melainkan pengalaman batin bersama anggota di dalamnya. Penghargaan terhadap tindakan-tindakan menurut ukuran kesusilaan merupakan dasar ajaran moral dan kontradiksi dari aksi pengrusakan yang mendatangkan kerugian.
Untuk itu pergaulan hidup lahir dari suara bati yang membentuk peristiwa moral. Ia adalah kenyataan psikis. Manusia perseorangan hanya dapat menjadi manusia dalam dan melalui masyarakat, demikianlah hal serupa dicetuskan oleh Scot Adam Ferguson (1724-1816); di samping digerakan oleh perasaan bermasyarakat; dia juga digerakan oleh pertentangan-pertentangan dengan orang lain yang harus diselesaikan dengan perjuangan: ini memang harus ada. Gagasan yang sulit ditolak tentang terbentuknya struktur naratif masyarakat adalah berada dalam kebhinekaan, sehingga untuk tetap eksis ia mesti bertahan dengan ketegangan-ketegangan, antara lain keempat produk masyarakat yang sudah disinggung sebelumnya. Ukuran pengakuan terhadap komunitas lain berasal dari pengakuan atau celaan yang dipakai manusia untuk membandingkan tindakan subyek komunitas tersebut didasarkan pada perasaan simpatinya. Dengan demikian tata pergaulan hidup lahir dari berbagai kepentingan antara lain kepentingan-kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Terhadap peristiwa ini muncul dua (2) sistem tata tertib yang mengatur pola perilaku subyek masyarakat agar tidak terjebak dalam pertikaian. Keduanya adalah tata tertib lahir dan tata tertib batin. Perihal pertama berurusan dengan sikap-sikap manusia yang menggotonh nilai kebaikan; dan tata tertib kedua mengandung pertimbangan-pertimbangan moral dari suara hati.
Dengan bermuara pada uraian di atas, maka eksistensi manusia sebagai ens individuale dan ens sosiale menjadi faktor pembentuj masyarakat dalan segala peristiwanya. Keberagaman yang ditampilkan oleh tiap-tiap subyek masyarakat pada satu sisi memperlihatkan kreativitas dan di sisi lain menampilkan perbedaan yang karenanya setiap manusia berjuang untuk berdialog. Menoleh kepada telaah sosiologis maka ia dibagi ke dalam dua kelompok yang bukan terpisah namun satu kesatuan yang utuh. Penerimaan akan yang bukan terpisah namun satu, melahirkan masyarakat berbudaya dan beragama.
Bertolak dari situ; mari kita melihat kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia. Sejak zaman kerajaan Hindu-Budha, masuknya pengaruh Islam, serta penyebaran agama Kristiani, orang Indonesia sudah menanamkan sistem gotong royong dan kerja sama baim antar subyek masyarakat maupun dengan subyek masyarakat asing. Pada saat yang bersamaan pula terjadi pertukaran budaya. Itu terlihat pada masuknya agama-agama asing yang oleh warga disambut dengan penuh antusias. Jembatan dari semua itu adalah KOMUNIKASI. Ia mengandung unsur kejujuran, kebenaran, obyektifitas dan komprehensbilitas.
Dalam perkembangannya dan hingga saat ini, masalah yang rentan terjadi di Ibu Pertiwi ini adalah konflik SARA (suku, agama dan ras). Jika mau jujur: maka hanya satu pemicunya yaiti: ketiadarelaan subyek masyarakat menerima dan mengakui pluralistik. Satu-satunya cara dalam meminimalisir dan meniadakan hal ini adalah konstruksi komunikasi dua arah, di mana setiap partner berdialog, bersikap peka agar dapat menerima, merasakan dan menangkap makna tersembunyi dan terdalam dari apa yang perlu diangkat dalam pengungkapan verbal itu. Dengan demikian setiap subyek masyarakat dituntut untuk berdialog yang dasarnya ada pada penghargaan akan perbedaan.
0 Comments